Selasa, 16 Juni 2009

Semat, Drajat, lan Kramat

MANUSIA adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Namun martabatnya yang tinggi bisa ambruk menjadi nista jika terjerat oleh nafsu “cinta pada semat, drajat, dan karmat”. Demikian antara lain ajaran Ki Ageng Surayamataram, tokoh kejawen, bangsawan dari Ngayogyakarta yang hidupnya amat sederhana. Ketiga nafsu tersebut semat (harta-benda), drajat (kekuasaan), dan kramat (suci-hormat) sering menggoda manusia. Jika terjerat dengan ketiga nafsu tersebut manusia menjadi gila hormat dan serakah.
Banyaknya partai politik di Indonesia saat ini -- sangat mungkin disebabkan oleh -- banyak orang ingin berkuasa. Karena kuasa memang bisa menghasilkan banyak harta, tanpa banyak kerja. Mungkin juga karena, manusia memang lebih mencintai kehidupan duniawi ketimbang kehidupan akhirat. Padahal Tuhan telah mengingatkan, … Dan sesungguhnya akhir (at) itu lebih baik bagimu ketimbang permulaan (hidup di dunia) (Q 93 : 4). Toh banyak manusia lebih tergiur oleh kehidupan dunia yang megah-mewah. Tuhan juga telah mengingatkan kepada umat manusia, selama hidup di dunia, hendaknya banyak berbuat baik, jangan banyak berbuat buruk. Sebab orang yang lebih banyak berbuat baik akan masuk surga, dan orang yang banyak berbuat jahat akan masuk neraka (Q 101 : 6 – 9).
Kekuasaan memang menggiurkan. Sebab dari kekuasaan dapat melahirkan harta-benda dan hormat. Biasanya kekuasaan membuat orang ketagihan. Sekali berkuasa, ingin terus berkuasa. Itulah nafsu serakah. Dalam dunia perwayangan nafsu serakah digambarkan oleh tokoh Raja Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka, dalam ceita Ramayana. Demi mempertahankan kekuasaannya dan mempertahankan perbuatannya yang salah, Raja Rahwana tak segan-segan berbuat curang dan bahkan berani berperang habis-habisan. Akhirnya Rahwana mati di tangan Ramawijaya, titisan Bathara Wisnu, dengan bantuan Hanoman.
Nafsu kramat membuat manusia semakin congkak, karena merasa dirinya sudah hebat, superman, dan tak mau diungguli manusia lain. Dia kemudian merasa bagaikan seorang raja, atau wali Tuhan di mayapada (Eyang Kung) ***

(

POLITIK DAN KEBUDAYAAN


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam posisinya sebagai Capres RI 2009-2014, ketika berdialog dengan para seniman dan budayawan di Jakarta akhir Mei 2009, dituntut -- jika Presiden SBY terpilih menjadi Presiden RI 2009-2014 -- dirinya agar menghidupkan lagi Departemen Kebudayaan atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Salah seorang budayawan menegaskan, pembangunan kebudayaan adalah amat penting dan strategis. Kebudayaan adalah sumber dari semua aktivitas suatu masyarakat. Selama ini seni-budaya terasa terpinggirkan. Padahal, kebudayaan adalah induknya politik, ekonomi, sosial, dll-nya. Selama ini kebudayaan dijadikan bagian dari politik. Seharusnya, potitik, ekonomi, dll-nya adalah bagian dari kebudayaan.
Apa itu “kebudayaan?” Masing-masing budayawan memiliki pengertian yang agak berbeda, walaupun intinya hampir sama. Definisi “kebudayaan” banyak, lebih dari 150 definisi. Kata “kebudayaan” berasal dari Yunani, “colore” atau “culture”. Dalam bahasa Inggris disebut “culture”. Jika kata “culture” identik dengan kata “kebudayaan” maka kata civilisation identik dengan kata peradaban.
Di Eropa, peradaban mencakup kebudayaan. Di Jerman istilah civilization diartikan sebagai peradaban lahir, misalnya tata-pergaulan yang halus atau beradab, teknik dan organisasi masyarakat yang berderajat tinggi, dan sistem hukum yang teratur baik. Sedang kebudayaan (culture) merupakan peradaban batin, misalnya kehalusan budi, keluhuran ilmu batin, ketinggian ilmu pengetahuan dan keindahan seni yang tinggi dan beradab.
Kebudayaan merupakan proses, kerangka acuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Etos atau semangat kebudayaan seseorang akan terpancar pada perilakunya atau wataknya yang khas. Dan tentu saja, perilaku atau watak tersebut harus bernilai luhur.
Kesimpulannya, kebudayaan seharusnya menjadi panglima, menjadi pondasi kebijakan politik, ekonomi, dll-nya, bukan sebaliknya, yaitu jangan politik menjadi panglima, menjadi dasar kebijakan politik, ekonomi, dll-nya … Itu menurut pandangan para seniman dan budayawan.
Di manakah inti sari kebudayaan bangsa Indonesia berada? Jawabnya: di Pancasila. Itulah falsafah, way of life, dan inti sari kebudayaan bangsa Indonesia. Jadi sudah benar, jika Pancasila dijadikan sumber hukum dan sumber semua kebijakan nasional bangsa Indonesia. Bangsa ini carut-marut karena telah meninggalkan falsafah Pancasila.
Sebagian bangsa ini yang berperilaku bringas dan suka tawuran akibat pembinaan dan pembangunan seni-budaya telah kita abaikan?
Lalu apa hubungannya dengan budaya jawa yang menjadi visi-misi Blog Budaya Jawa On Line ini? Baca posting di Blog ini yang berjudul Budaya Jawi Keraton Surakarta.
Apa komentar Anda? (Om Wid/Buku Acuan: Kajian Budaya Jawa/Drs. Imam Suradjo, M.Hum/UNS Surakarta)***

Andhap Asor


Andhap asor artinya rendah hati, tetapi bukan rendah diri. Lawan rendah hati adalah tinggi hati, congkak, sombong dan sebagainya. Budaya Jawa mengajarkan agar orang selalu bersikap rendah hati. Sikap rendah hati tercermin dalam aksara Jawa, ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya. Abjad Jawa tersebut ditulis tidak di atas garis, tetapi ditulis di bawah garis.
Perasaan orang Jawa terlihat pada sifat aji, ngajeni, hormat, kepada orang yang lebih tinggi usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Bahkan sifat hormat tersebut bisa meningkat ke sifat kagum untuk suatu hubungan orang Jawa tertentu.
Zaman dulu sifat andap asor amat dianjurkan kepada kaum muda di kalangan kraton, baik kepada para pangeran (anak raja), sentana dalem (keturunan raja), dan para abdi dalem (punggawa, pegawai kraton). Ketika kerajaan Sukartahadingrat di pimpin oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Pakubuwana IV (1788 – 1820 M), beliau menulis sejumlah buku panduan untuk character building, pembinaan budi pekerti, atau pendidikan akhlak bagi masyarakat umum dan bagi kaum muda. Salah satu buku untuk pembinaan budi pekerti tersebut berjudul Wulangreh.
Wulangreh adalah buku kumpulan sekar atau tembang khusus berisi ajaran hidup mulia. Dalam buku tersebut berisi tembang (macapat) Dandanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Duduk Wuluh, Durma, Wirangrong, dan Pocung. Kata Wulangreh berarti “pelajaran (wulang) cara memerintah (reh); untuk memerintah orang lain (sebagai pejabat atau penguasa) dan memerintah (jiwa, batin) diri sendiri. Pembinaan akhlak lewat tembang (lagu) diharapkan untuk menarik siapa saja yang mendengarnya.
Pada zaman itu pembinaan akhlak atau budi pekerti di kalangan para pemimpin dan para calon pemimpin mendapat prioritas utama. Sebab raja berpendapat untuk membangun negeri dan rakyatnya agar tercapai suasana aman sejahtera, yang pertama dan utama adalah membangun akhlak para pemimpin dan seluruh warganya. Pembangunan sarana dan prasarana hidup yang baik dan menelan banyak biaya, tak bakal berguna jika para pemimpin dan para kawulanya berakhlak rendah atau buruk (Eyang Kung)***

Wong Jawa Ilang Jawane


Pembinaan Akhlak Mulia/Tembang Kinanthi
Salah satu pembinaan akhlak bagi kaum muda antara lain terdapat pada buku Wulangreh, Tembang Kinanthi. Terjemahan bebas Tembang Kinanthi sbb:
Pelajarilah dan latihlah batinmu, agar mampu menangkap isyarat-isyarat Ilahi, jangan selalu makan dan tidur berlebihan, carilah kajayaan hidup, kuatkanlah tekad dan niatmu, kurangilah makan dan tidur (Bait pertama).
Biasakan hidup prihatin, dengan cara berpuasa dan sering berjaga (tidak tidur), dan jauhi hidup bersenang-senang, hiduplah yang wajar, orang yang hidup suka berlebih-lebihan (mewah, megah) akan mengurangi kewaspadaan batin.(Bait kedua).
Kepada para pemimpin Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Apabila sudah menjadi pemimpin, jangan sombong, jangan bergaul dengan orang jelek, orang yang jelek akhlaknya (orang jahat), bisa menyeretmu ke perbuatan jahat, sebab sifat buruk (orang jahat) akan bisa menular ke pribadimu (Bait ketiga).
Walaupun orang berkedudukan rendah, jika berakhlak mulia, dan kaya ilmu luhur, ilmu yang memiliki teladan baik, itu pantas engkau dekati, agar budi pekertimu lebih kaya (Bait keempat).
Kepada kaum muda Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Pekerjaan baik itu, mudah jika sudah dilakukan, sulit jika belum dilaksanakan, dan malas untuk dilaksanakan, tetapi itu kerjakanlah, demi kemanfaatan dirimu sendiri (Bait ketujuh).
Bagi kaum muda, di zaman ini, andhap asor (rendah diri) dibuang, bersifat tinggi hati, suka omong kosong tanpa nilai, kementhus, lengus, kumaki ( Bait kedelapan).
Lu lu gua gua (dialek Betawi), bertabiat kasar suka menganiaya, itulah tanda orang berakhlak buruk, mereka menjauhi pergaulan orang-orang berakhlak, tak mau mendengar nasehat orang tua, yang berisi contoh-contoh baik atau buruk (Bait kesembilan).

Kepustakaan Jawa zaman dulu yang berisi filsafat dan pembinaan budi pekerti (akhlak mulia) banyak sekali. Di antaranya:

A. Kitab-kitab Jawa kuna golongan tua: Candrakirana, Ramayana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Utarakanda, dsb.
B. Kitan-kitab Jawa kuna yang bertembang kakawin: Arjunawiwaha, Krenayana, Sumanasantaka, Bhomakwaya, Bharatayuddha, Hariwangsa, Smaradahana, dsb
C. Kitab-kitab Jawa kuna tergolong baru: Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Nitisastra, Purusada-santa, Parthayadnya, dsb.
D. Kitab-kitab Bahasa Jawa Tengahan dalam bentuk proza: Tantu Panggelaran, Calon Araag, Tantri Kamandaka, Pararaton, dsb.
E. Kitab-kitab syair bahasa Jawa Tengahan berbentuk kakawin: Dewaruci, Sudamala, Kidung Subrata, Panji Angreni, Sri Tanjung, dsb.
F. Kitab-kitab Zaman Islam: Suluk Sukarsa, Kodja-djadjahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Manikmaya, dsb.
G. Kitab-kitab zaman Surakarta awal: Mintaraga atau Arjuna Wiwaha (disadur Pakubuwana III), Serat Rama, Bharayuda, Panitisastra, Babad Giyanti, Wicara Keras dsb (disadur Jasadipura I dan Jasadipura II dan bentuk puisi), Wulangreh, Wulang Sunu (dikarang oleh Pakubuwana IV), Ardjunasasrabau (puisi), Sugriwa-Subali, Sembadra Larung, Srikandi Meguru Manah (disadur dan dibangun oleh Kiyai Sindusastra/juru tulis Pakubuwana IV), Bale Sigala-gala, Djagalabilawa, Semar Djantur (disadur/dibangun oleh Arya Kusumadilaga), Serat Canthini (karya Pakubawana V), Wedhatama (karya Mangkunegara IV), Kalatidha (karya R Ng Ranggawarsita).

Oleh sebab itu secara teori, orang Jawa seharusnya berbudi luhur, mengingat orang Jawa banyak memiliki banyak warisan ilmu filsafat dan ilmu budi luhur (pembinaan akhlak mulia) dari para pendahulunya. Jika saat ini banyak orang Jawa yang tidak bersikap andap asor, patutlah disebut wong Jawa sing wis ilang Jawane (Eyang Kung/Sumber: Drs. Sutardjo, M. Hum/UNS Surakarta)***
Karikatur/Hak Cipta: Waloejo DS, Depok

Budaya Jawi Karaton Surakarta (3)


Radya Laksana = tuntunaning agesang.
Sari-pathi lambang Radya Laksana sayekti dados tuntunaning ngagesang. Sadaya tiyang ingkang mangangge lambang Radya Laksana kedah rila legawa angetrapaken Jiwa Budaya Jawi ingkang sampun kawedhar ing seratan Budaya Jawi Kararton Surakarta nomer 1 dan nomer 2. Sari-pathi lambang Radya Laksana sejatosipun inggih Jiwa Budaya Jawi gagrak Surakarta. Sadaya sentana dalem, abdi dalem, lan sadaya tiyang ingkang remen, cocok, lan mengangge lambang Radya Laksana, wajib anglampahi gesang kanthi tuntunan Budaya Jawi Karaton Surakarta. “Tindakna watak-wantu kang tinemu ing lambang Radya Laksana”, makaten pitutur ingkang mijil saking lambang Radya Laksana.
Babon lambang tuntunaning ngagesang menika wau sejatosipun saking Murwa Wedha Senapaten. Tegesipun, warah utawi tuntunan sampun wonten, hamung dereng tinata wewangunan kacetha kados samenika. Lambang Radya Laksana dipun wiwiti ing jaman Sinuhun Pakoe Boewono X. Sinuhun ugi paring sabda budaya (motto): “Kuncara ruming bangsa dumunung luhuring budaya”.
Sumber Budaya Jawi menika kapendhet saking sifat-sifat jagad raya ingkang wonten ing (1) surya, (2) rembulan, (3) kartika, (4) mendhung, (5) angin, (6) banyu, (7) geni, tuwin (8) bumi.
Wonten malih Warahdalem Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Kaping IX ing Surakarta lan ugi saged kangge tuntunaning agesang para satria Jawi inggih menika: “Mesem lamun denhina, sumingkir lamun hingalembana”. Awon sae binrastha, boten tepang bener luput, jumeneng satengahing jagad, watakipun tentrem. Inggih menika ingkang dipun wastani piwulang adi luhung, dadosa pamecut kridhaning darma salebiting hambangun Jiwa Budaya Sumber Karaton Surakarta, sanadyan dumugi lampahing rodha jaman ing wekdal menika, kaweruh kemajenganing petang nalar utawi pikir bebles sundhul langit, klinthong-klinthong ing angkasa, wira-wiri nyangking wiron ing ratan rembulan, boten saged hamaedahi ing humat manungsanipun, menawi piwulanmg luhur wau boten kangge gondhelan minangka gegaman utawi senjata triwikramaning penggalih jumangkanging sedya runtuting samukawis bab. (Buku rujukan: Kajian Budaya/Iman Sutardjo/UNS) ***

Budaya Jawi Karaton Surakarta (2)


BUDAYA JAWI KARATON SURAKARTA (2)


Makna sinandi salebeting lambang Radya Laksana.
Makutha menika lambang ageming narendra (nata) ugi dados pasemoning budaya Jawi, gambar makutha ugi dipunwerdeni kagunan utawi kapintenan. Warni abrit lan jene menika warni kasepuhan lahir batin, sabar ing kalbu sareh ing laku. Hawatak hayu, hayom, hayem lan tentrem.
Dhasar biru enem (pethak + biru) saged nulak rubeda ingkang asipat agal lan alus. Sanepanipun angkasa (langit) menika wiyar jembar agung pangapurane.
Surya (srengenge) menika dados sumbering gesang ing jagad tumrap sadaya tumitah.
Sasangka tegesipun candra utawi rembulan, lambang pepadhang kawimbuh swasana asrep ing wanci dalu.
Sudama tegesipun lintang, sanadyan wanci peteng, lintang abyor saged asung pepadhang. Ateges saged paring daya padhang menawi pinuju nampi bebendu.
Jagad menika inggih jlegering manungsa, inggih wewakiling jagad ageng miwah alit. Inggih menika pesemoning titah manungsa ingkang wajib ngreksa manunggaling ageng alit utawi ngudi nyawiji Jejering Kawula lan Gusti.
Paku, dados pasemon amrih tansah bakuh saha kukuh kalenggahaning jagad. Inggih santosaning tekad ingkang jinurung santosaning kalbu.
Kapas lan pari; lambanging sandhang lan tedha, inggih kebetahan gesang tata lahir. Sandhang dhawah rumiyin amargi sesambetan kaliyan kasusilan. Pari ingkang dados lambanging tedha dhawah nomer kalih. Tegesipun ajiwa budaya Jawi kedah susila, boten nengenaken tedha, utawi subsita boten pegat tapa brata.
Pita abrit, dados pasemonipun marga dumadosipun ing alam donya inggih mawa pitedah tansah enget bapa biyung. Minangka pancadan enegt dhumateng Gusti ingkang Hangidini Tumitah. Blebesing makna enget jejering kawula titah sawantah ngrumaosi wonten ingkang nitahaken, mujudsaken baku ancasing gesang nyawiji Kawula lan Gustinipun. (Buku Rujukan: Kajian Budaya Jawa; Drs. Iman Sutardjo, M.Hum; UNS Surakarta) ***

BUDAYA JAWI KARATON SURAKARTA (1)

Budaya tegesipun uwoh pangolahing budi, inggih menika uwohing pakarti lahir adhedhasar kaluhuran lan kautaman, ugi uwohing pakarti batin, nyaket dhumateng Pangeran ingkang Maha Agung.
Seserepan utawi keterangan (makna) lambang Karaton Surakarta Hadiningrat “Radya Laksana”:
Radya Laksana dumadi saking tembung radya lan laksana. Radya tegesipun negara utawi rasta, inggih menika pantes pinundhi-pundhi. Wondene laksana tegesipun lampah tumindak ingkang temen, rila kanthi terusing batos.
Gambar utawi lambang ingkang katingal ing seratan menika, inggih menika tandha cirinipun Karaton Surakarta Hadiningrat. Dados sinten ingkang mangagem utawi mangangge tandha menika saged winastan “tedhak turuning Nata utawi Abdidalem Karaton Surakarta, utawi sinten kemawon ingkang Ngedhep dhateng Karaton Surakarta”.
Lambang karaton menika awujud lonjong, makutha abrit sarta jene, nglebet lonjong, dhasaran biru, linukis lintang, rembulan, srengenge nyunaraken cahaya, jagad, ing sanginggiling kapaku. Kiwa lan tengen, kapas lan pari, bongkotipun tinangsulan pita pethak abrit.
Keteranganipun makaten:
Paku, pasemon sarana mrih tansah santosa kukuh lan bakuh kalenggahaning jagad. Inggih santosaning tekad jinurung santosaning kalbu.
Kapas lan pari, lambanging sandhang lan tedha. Inggih kabetahan gesang tata lahir. Sandhang dhawah rumiyin, karana sesambetan kaliyan kasusilan. Kados pundi menawi titah manungsa lirwa ing sandhang? Temtunipun badhe saru dinulu, growing menawi sinawang, Keplasipun dados seanti, mugi kiyat nampi saliring penandhang. Wondene pari ingkang dados lambanging tedha, menika dhawah kalih. Tegesipun ajiwa budaya Jawi, kedah susila, boten nengenaken tedha, utawi tansah subasita boten pegat tapabrata.
Pita pethak abrit, pasemon marga dumadosipun ing donya, inggih mawa pitedah tansah inget dhumateng bapa biyung. Minangka pancadan enget dhateng Gusti Hingkang Hangidini Tumitah. Beblesing makna, inget jejering kawula titah sawantah, ngrumaosi wonten ingkang hamarengaken tumitah, inggih bakuning ancas gesang sageda nyawiji Kawula lan Gusti, utawi manunggaling kawula Gusti (Sumber: Drs. Sutardjo, M.Hum/Kajian Budaya Jawa/UNS Surakarta)***